“Kalo yg asli, keras banget. Dilempar orang bisa mati”. Seloroh Jefry. “Ini yg kelas dua, udah lebih modern. Kalo yg kelas satu, asli tradisional, memang keras”. Sambung mbak Vero. “Makan satu sama teh di pagi hari, bisa tahan sampe siang”. Paung, roti tradisional makanan khas Timor. Kami menikmatinya di perjalanan dari perbatasan Indonesia – Timor Leste. Tidaklah lengkap ke Atambua bila tidak mengunjungi perbatasan. Pembangunan gedung pos lintas batas di Indonesia hampir selesai, berdiri megah berhadapan dg sejenisnya di seberang sungai. Aku hanya ingin berdiri di atas jembatan kecil, hanya 6-10 meter, dengan dua warna pilar: merah putih dan merah kuning hitam. Sebelah kaki di Indonesia, lainnya di Timor Leste, dengan membayangkan Bapak Yosef, diantara orang2 yang aku temui, seorang pensiunan tentara asli Timor yang mencoba membudidayakan ikan lele, beliau memberi sebuah selendang tenun yang sangat menarik buatku hingga aku merasa perlu utk difoto dengan mengenakannya dan dua botol madu lebah liar Timor yang beberapa aku minum ketika di hotel hingga habis seperempat botol, dan mereka yang terpaksa eksodus tercerabut dari tanah leluhurnya, terpisah keluarga dan memulai hidup baru akibat suatu kepentingan politik (setidaknya, aku lebih percaya akibat politik alih-alih utk alasan kesejahteraan penduduknya).
Ini adalah kunjungan kali kedua di Nusa Tenggara Timur. Hujan rintik menyambut pendaratan pesawat ATR72-600 di bandara Atambua. Terburu2 selfie di depan papan nama bandara kemudian berlari kecil menghindari hujan yg semakin membesar. Bila tugas pertama adalah memberikan pelatihan, maka tugas kedua ini adalah survei identifikasi calon penerima bantuan. Kedua tugas masih sama berhubungan dengan ikan lele. Terlepas dari tugas, yang lebih penting adalah menjalin silaturahmi dan persaudaraan dengan para pembudidaya ikan. Di sela tugas identifikasi, masih ada waktu bertemu teman2 di BBI Teun dan berkunjung ke Tambak Susuk milik DKP Belu bahkan menyebrang ke pembudidaya di Kab. Malaka. Itulah, dalam persepsiku, sebuah jalinan persaudaraan.
Seperti sore pertama. Namanya bapak Benyamin T. Mau. Lebih dari dua tahun berbudidaya ikan lele sebagai sampingan dari bertani. Cuma punya satu kolam 8x4m, itupun tersisa dipakai 3x4m dilapisi plastik karena bagian lain temboknya sudah bocor. Apalah yg bisa dibicarakan mengenai teknik budidaya ikan lele, apalagi dengan sistem bioflok? Tapi, kami bisa ngobrol tentang banyak hal di sela minum kopi Tugu Buaya.
Ternyata adalah produk Surabaya, meski, ada kopi lokal Belu (inilah yang jadi oleh2 wajib) atau yang dekat kopi Flores. Padahal, kopi sudah jadi menu wajib disajikan di berbagai acara. Dan terbukti, setiap disuguhi kopi selalu berjawab Tugu Buaya ketika ditanya merk yang digunakan, dari ujung utara hingga ujung selatan pulau. Ini sangat disayangkan terutama terkait dengan “one village one product”. Selayaknya, ‘one product’ yang dihasilkan menjadi tuan rumah yang disajikan di tiap kesempatan dan pada setiap tamu. Dihasilkan dan dikonsumsi di ‘one village’. Hal yang sama juga dengan ikan lele (saya yakin juga dengan banyak produk lainnya).
Ada belasan warung pecel lele di Atambua. Setiap warung, 8-10 kg ikan lele segar bisa habis dijual setiap malam. Sebagian besar ikan lele masih dikirim dari Kupang (perjalananku transit dan ganti pesawat di Kupang, tapi pasti tidak akan sempat memastikan apakah ikan lele di produksi di Kupang atau malah dikirim dari tempat lain. Untuk kebutuhan konsumsi dua kota terbesar di NTT, Kupang dan Atambua, tentu jumlahnya akan cukup besar). Untungnya, infrastruktur jalan Kupang-Atambua, kata orang-orang, sudah bagus (tetap saja Kupang ke Atambua masih perlu 8-9 jam pake bis).
Sebagian besar jalan utama-arteri di Atambua dan Kab Belu sudah cukup bagus. Cukup nyaman dengan mobil double kabin hi-lux disopiri Jepri atau Feroza-nya mbak Sisca. Jalan rusak berat hanya ditemukan di lintas Atambua – Betun Kab Malaka, terutama di daerah yang, kata Yanto, cukup rawan. Yanto, supir keturunan Timor yang eksodus 1999, membawa mobil Pajero Dakkar dengan ban besar sangat piawai, setidaknya buat aku cukup nyaman, dibanding naik colt bogoran atau elf dari jampang, memainkan arah kendaraan meskipun kecepatan sering menyentuh 100 km/jam. Dan, sepanjang dibawa mbak Sisca, Jefry atau Yanto, aku tidak banyak menemukan perilaku ‘keras’ di jalanan. Ini agak berbeda dengan persepsi mbak Sisca. Menurutnya, di Atambua, orang biasa keras di jalanan. Aku melihat ‘relatif normal’, bahkan kesaling-pengertian’ begitu tampak, terutama di perempatan tanpa lampu.
Kesaling-pengertian ini adalah salah satu makna yang didengar dari cerita Bapak Yerem Sadiya, seorang mantan kepala desa sekaligus tokoh adat suku Tasain. Aku meminta mbak Vero dan mbak Sisca untuk bisa singgah di rumah tradisional Timor. Dibantu pak Apsalon, aku berkesempatan mengunjungi rumah adat suku Tasain, menyaksikan mamak-mamak menenun kain (mereka kemudian berhenti menenun dan ikut berkumpul dengan kami ketika Bapak Yerem datang belakangan), melihat makam para leluhur suku (makam tua 6-7 generasi diatas mereka) dan melihat batu menhir berpahat yang diambil dari atas gunung Madeung (entah bagaimana para leluhur mereka memahat menhir ini, karena kata pak Yerem sangat keras, dan nampaknya sangat berat dibanding ukurannya yang relatif kecil; menhir ini dicabut dari tempatnya untuk menghindari pencurian) dan mendengar cerita kuno mengenai suku Tasain (Kalau mau lengkap, kata pak Yerem harus semalaman).
Pak Yerem dan suku Tasain, masih setia untuk menjaga warisan para leluhur. Bagiku, terasa begitu kontras dengan Pak Yosef, Yanto dan para mantan eksodus 1999, yang entah apapun alasan yang melatar-belakanginya, menjadi terpisah dari leluhurnya di Timor. Namun yang sangat menggembirakan, mereka bisa hidup bersama dalam selimut Merah-Putih.
Note:
Terima kasih kepada mbak Sisca dan mbak Vero yang sudah “mengawal” saya selama perjalanan di Belu – NTT; sebagai penyuluh perikanan, kerja mereka sangat luar biasa dan saya sangat menghargainya