Gangguan Endokrin pada Lingkungan Akuatik

Gangguan Endokrin pada Lingkungan Akuatik

endocrine disrupters in the aquatic environment

 

makalah ini menyajikan adanya gangguan pada sistem endokrin yang diakibatkan adanya pencemaran lingkungan terutama pada lingkungan akuatik. gangguan ini dapat dideteksi dari adanya kecenderungan perubahan seks pada organisme akuatik, baik pada proporsi jantan-betina ataupun dengan ditemukannya individu interseks.


I. Pendahuluan

II. Efek Estrogenik

III. Efek Androgenik

IV. Kesimpulan

 

I. Pendahuluan

Perairan terbuka merupakan lingkungan yang sering menjadi tempat pembuangan akhir bahan-bahan pencemaran, baik yang berasal dari limbah rumah tangga, industri, pertanian dan kegiatan manusia lainnya. Sebagian besar limbah tersebut, secara sengaja ataupun tidak sengaja, tidak pernah mengalami pengolahan sebelumnya sedangkan sebagian lainnya merupakan limpasan dari instalasi pengolahan air limbah. Peningkatan volume limbah terus terjadi akibat peningkatan populasi penduduk dan kegiatan industri, yang kemudian semakin memperparah tingkat pencemaran di perairan. Diantara limbah tersebut, merupakan substansi kimiawi yang berpotensi memberikan pengaruh terhadap perairan dan organisme akuatik didalamnya baik positif ataupun negatif. Pengaruh positif yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah penambahan sumber nutrient sedangkan pengaruh negatif sangat bervariasi dari menyebabkan kematian hingga pengaruh yang relatif sulit dideteksi. Salah satu pengaruh limbah yang sulit dideteksi dan tidak banyak menyita perhatian publik (khususnya di Indonesia) adalah potensi gangguan endokrin (Sumpter, 2005).

Gangguan endokrin didefinisikan sebagai gangguan perkembangan gonad, baik adanya perubahan pada pembentukan duktus atau adanya perkembangan ovotestis yang mengarah pada feminisasi (Liney, et al., 2005) atau adanya rangsangan munculnya karakter kelamin sekunder jantan yang mengarah pada maskulinisasi (Larsson, et al., 2006). Sedangkan menurut WHO/IPCS dalam Falcorner, et al. (2006) endocrine-disrupting compounds didefinisikan sebagai substansi eksogenus yang mengubah fungsi sistem endokrin yang menimbulkan konsekuensi pengaruh kesehatan yang kurang baik terhadap organisme, atau keturunannya, atau (sub)-populasi yang menerimanya. Gangguan ini dapat terjadi akibat adanya substansi kimia di perairan yang mengganggu sistem endokrin pada organisme ikan. Umumnya, substansi kimia, baik bersifat alami ataupun sintesis yang dikenal sebagai endocrine disrupter, memiliki kemampuan untuk berikatan dengan estrogen reseptor (Brian, et al., 2005) atau androgen reseptor (Larsson, et al., 2006) bergantung pada mekanismenya. Gangguan yang ditimbulkan juga bervariasi bergantung tipe bahan dan organisme yang dipengaruhinya. Gangguan dapat terjadi dengan berbagai jalan karena ikan yang hidup di perairan terbuka bukan hanya terpapar pada subtansi tunggal melainkan dapat terpapar pada substansi kompleks dengan jumlah bervariasi sehingga dapat menimbulkan pengaruh kombinasi baik dengan mekanisme yang tunggal/sama ataupun berbeda (8085).

Substansi kimiawi yang berpotensi memberikan gangguan endokrin bisa berasal dari bahan alami ataupun sintesis. Substansi yang merupakan bahan alami, antara lain: hormon (17?-estradiol, estriol, estrone, progesterone, testosterone), phytoestrogen (sesquiterpenes, phytosterols), sedangkan bahan sintesis, antara lain: hormon (17?-ethinylestradiol, diethylstilbestrol, 17?-trenbolone), herbisida (atrazine, simazine, methoxychlor, 2,4-D), insektisida (DDT, dieldrin, endosulfan, lindane), dan bahan kimia yang digunakan pada berbagai industri (phthalates, bisphenol A, ?-nonylphenol, PCBs, tributyltin) (Falconer, et al., 2006). Bahan lain yang berpotensi sebagai endokrin disrupter adalah alkylphenol surfactants (Kavanagh, et al., 2004), 17?-dihydroxyprogesterone dan medroxyprogesterone (Sumpter, 2005). Substansi tersebut secara terus menerus masuk ke dalam perairan akibat penggunaannya secara meluas pada berbagai aktifitas manusia. Diperkirakan lebih dari 100.000 substansi kimia buatan manusia yang telah digunakan dan dibuang masuk ke perairan(Sumpter, 2005). Hampir semua penelitian mengenai gangguan endokrin dilaporkan berkaitan dengan efek estrogenik yang menimbulkan gejala feminisasi pada ikan akibat buangan dari pengolahan air limbah perkotaan/industri dan efek androgenik yang menimbulkan gejala maskulinisasi akibat buangan air limbah pengolahan kayu. [atas]

 

II. Efek Estrogenik

Penelitian mengenai adanya feminisasi pada ikan liar di perairan tawar dan estuari telah banyak dilaporkan di Inggris dan beberapa negara Eropa, Jepang dan Amerika Serikat. Laporan awal yang paling ekstensif mengenai feminisasi akibat pengaruh air limbah dilakukan Jobling dan koleganya pada tahun 1998 pada ikan roach (Rutilus rutilus) di >50 titik sungai di Inggris (Liney, et al., 2005) dan Guillette dan koleganya pada tahun 2000 yang telah menemukan adanya pengaruh tersebut pada alligator di beberapa danau di Florida (Sumpter, 2005). Gangguan endokrin yang muncul tersebut berkaitan dengan ekspose ikan pada buangan dari instalasi pengolahan air limbah industri dan domestik. Kebanyakan laporan mengenai pengaruh feminisasi dari air limbah pada ikan adalah adanya induksi pada vitellogenin, perubahan tingkat hormon steroid seks pada ikan juvenil dan ikan dewasa, kelemahan pada perkembangan gonad, perubahan waktu diferensiasi seks dan interseks pada gonad (Liney, et al., 2005).

Interseks pada gonad ditandai dengan adanya jaringan testikular dan ovari pada gonad yang sama (Kavanagh, et al., 2004) dan/atau adanya gangguan pada duktus gonad dimana duktus jantan mengalami feminisasi membentuk rongga ovari seperi betina (Gambar 1) (Liney, et al., 2005). Meskipun interseks secara alami biasa terjadi pada spesies ikan protaginus dan protandri, namun pada ikan gonokoristik fenomena ini merupakan gejala tidak normal dan biasanya hanya ditemukan pada ikan yang sengaja diekspose terhadap hormon steroid atau aromatase inhibitor (Jobling, et al., 2002). Pemeliharaan kembali ikan yang mengalami gangguan seksual setelah ekspose pada air limbah menunjukkan bahwa feminisasi pada duktus reproduksi bersifat permanen (Liney, et al., 2005).

Spesies ikan air tawar liar yang menampakkan adanya kejadian interseks yang tidak biasa telah dilaporkan pada ikan roach (Rutilus rutilus), gudgeon (Gobio gobio), barbel (Barbus plebejus), dan shovelnose sturgeon (Scaphirhynchus platyorynchus), sedangkan pada ikan estuari telah dilaporkan pada ikan flounder Eropa (Platichthyes flesus) and flounder Jepang (Pleuronectes yokohamae) (Jobling, et al., 2002). Fenomena serupa ditemukan juga pada ikan mas (Cyprinus carpio) (Lavado, et al., 2004), bream (Abramis brama) (Vethaak, et al., 2005) dan white perch (Morone americana) (Kavanagh, et al., 2004).

Pada ikan roach, Rutilus rutilus, ekspose selama 300 hari pada air limbah konsentrasi 0, 15.2, 34.8, and 78.7% (yang diencerkan dengan air bersih) telah merangsang feminisasi pada individu jantan yang diukur dari induksi vitellogenin (Gambar 2) dan perubahan histologi gonad, menyebabkan perubahan yang signifikan pada perkembangan ginjal (Gambar 3), modulasi fungsi immum (jumlah total trombosit) dan menyebabkan kerusakan genotoksik (induksi mikronukleus dan kerusakan single-strand pada insang dan sel darah ) (Liney, et al., 2006).

Pengaruh interseks akibat gangguan endokrin terhadap kemampuan fertilisasi (kualitas gamet) dipublikasikan oleh Jobling, et al. (2002). Pada ikan roach, persentase ikan yang mampu melakukan spermiasi (Gambar 4) dan fertilisasi (Gambar 5) menurun dengan adanya indikasi interseks yang lebih akut. [atas]

 

III. Efek Androgenik

Adanya gangguan endokrin yang mengarah pada maskulinisasi pada ikan liar berkaitan dengan buangan limbah dari industri pengolahan kayu. Pengaruh limbah kayu pada sistem sitokrom P450 pada ikan telah teridentifikasi dengan adanya interferensi pada sistem reproduksi yang meliputi depresi siskulasi hormon steroid, keterlambatan waktu pematangan, ukuran gonad yang lebih kecil, perubahan pada ekspresi karakter seks sekunder (Larsson, et al., 2002), munculnya tingkah laku dan warna tubuh seperti jantan pada ikan betina (Larsson, et al., 2006). Laporan awal mengenai fenomena ini dipublikasikan oleh Howell dan koleganya pada tahun 1980 yang mengidentifikasi adanya perkembangan pemanjangan sirip anal yang menirukan gonopodium jantan pada mosquitofish (Gambusia sp.) betina (Larsson, et al., 2006).

Maskulinisasi ikan yang ditemukan di aliran sungai yang menerima limbah kayu diperkuat oleh penelitian Larsson, et al. (2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya multiple ligand terhadap reseptor androgen yang ditemukan pada limbah kayu, salah satunya adalah progesteron. Treatment biologi dapat mengurangi progesteron tersebut tetapi tidak mengurangi jumlah aktifitas pengikatan resepto androgen.

Selain pada masquitofish, penelitian mengenai pengaruh limbah kayu yang menyebabkan gangguan endokrin telah dipublikasikan terjadi pada ikan lake whitefish, (Coregonus clupeaformis), perch (Perca fluviatilis), largemouth bass(Micropterus salmoides), longear sunfish (Lepomis megalotis) (Fentress, et al., 2006), sidat (Anguilla rostrata), white suckers (Catosomus commersoni), fathead minnows (Pimephales promelas), viviparous eelpout (Zoarces viviparus) (Larsson, et al., 2002), guppy (Poecelia reticulata) (Larsson, et al., 2006) dan longnose sucker (Catostomus catostomus) (McMaster, et al., 2005). Sedangkan pada invertebrata dilaporkan pertama kali oleh Blaber tahun 1970 yang menemukan adanya struktur seperti penis disamping tentakel kanan dogwhelks (Nucella lapillus) (Sumpter, 2005).

Pada ikan longear sunfish (Lepomis megalotis) liar, adanya limbah dari olahan kayu tidak berpengaruh terhadap fisiologi reproduksi jantan tetapi dapat menekan tingkat testosteron dan vitellogenin pada ikan betina ketika limbah mencapai ? 1% dari aliran air (Gambar 6) (Fentress, et al., 2006). Menurunnya tingkat vitellogenin berdampak pada lebih sedikitnya telur yang dikeluarkan induk betina ataupun memperpendek waktu pijah pada saat musim pemijahan. Menurut (Larsson, et al., 2002), terdapat hubungan yang jelas antara pergeseran seks rasio dengan ekspose terhadap limbah olahan kayu. Pada viviparous eelpout, terdapat embrio betina yang lebih sedikit dibandingkan dengan jantan pada daerah yang lebih dekat dengan sumber limbah kayu (Gambar 7).[atas]

 

IV. Kesimpulan

Pencemaran perairan bukan hanya berdampak pada penurunan kualitas fisika kimia perairan tetapi juga dapat menimbulkan dampak yang seringkali sulit dideteksi seperti adanya gangguan pada sistem endokrin. Di negara maju, dampak gangguan tersebut telah diidentifikasi dengan adanya fenomena feminisasi dan maskulinisasi pada ikan yang hidup di perairan. Sejauh ini penelitian tersebut masih pada tingkat individu/spesies, namun telah menunjukkan adanya perubahan yang cukup signifikan pada rasio kelamin spesies. Dampak perubahan tersebut pada sustainabilitas tingkat populasi ikan merupakan pekerjaan yang masih harus dilakukan (Sumpter, 2005).

 

Sumber

gangguan endokrin pada lingkungan akuatik