Kalau saya produksi fingerling, siapa yg pasok glass eel ketika saya perlu dan siapa yg mau beli fingerlingnya.
Kalau produksi konsumsi, siapa yg pasok fingerlingnya sesuai kebutuhan dan kemana menjual produksinya.
Saya menuliskan pernyataan tersebut pada bulan Agustus 2012 pada sebuah diskusi di facebook atas posting-share saya dari tulisan Apa Kabar Sidat Indonesia. Tulisan tersebut adalah yang kedua setelah tulisan pertama pada bulan Maret 2008, Ke Arah Budidaya Sidat di Indonesia. Saya membaca ikan sidat karena tugas yang diemban antara tahun 2008-2010 meskipun yang terkait dengan perekayasaan hanya tahun 2008.
Di awal tahun 2008, sempat juga menyusun sebuah road map untuk pengembangan budidaya ikan sidat di Indonesia untuk menjawab tulisan saya yg pertama. Pada suatu kesempatan di tahun tersebut, powerpoint mengenai road map tersebut sempat dipresentasikan dan didiskusikan di eselon-2 KKP. Tentu, bukan hanya saya (#da aku mah apa atuh), banyak para ahli yg juga berbicara jauh lebih dulu dan/atau lebih komprehensif dibanding saya. Tapi sayangnya, setelah minimal 10 tahun ini, budidaya ikan sidat masih saja tersendat.
Tersendat? Ya, demikian adanya. Selama 10 tahun pada rentang 2008-2017, data FAO (2019) menunjukkan ketika produksi global hasil budidaya menunjukkan trend yang semakin meningkat, produksi Indonesia justru naik-turunnya dan secara umum hanya memberikan kontribusi dibawah 0.05%. Sejak 2014, produksi terus menurun dan hanya menyisakan sekitar 300 ton pada tahun 2017. Memang, khusus 2017, FAO masih memberi tanda data sementara. Tapi sejalan dengan informasi yang saya terima. Salah satu produsen yang cukup dominan menyatakan adanya penurunan produksi pada tahun 2017 bahkan berlanjut pada tahun 2018. Yang cukup menggembirakan adalah adanya ekspor pada tahun 2019 yang mencapai 5.000 ton, hanya semester pertama (https://industri.kontan.co.id/news/kkp-ekspor-sidat-capai-5186-ton-pada-semester-i-2019). Pada tahun 2020, salah satu perusahaan produsen sidat menargetkan bisa ekspor 300 ton yang ekuivalen dengan produksi bahan baku sekitar 600 ton.
Nampaknya, efisiensi usaha dan segmentasi proses produksi budidaya ikan sidat di Indonesia belum ditemukan atau belum terbentuk di masyarakat. Bertahun training-training budidaya sidat sudah dilakukan oleh orang yang silih berganti, nampaknya berhenti selangkah di depan hotel, tempat acara pelatihan. Dan saya masih tetap khawatir “hasil produksi “terpaksa” menumpuk di freezer atau benih hasil tangkapan yg “terlanjur” dipesan harus ‘dijual’ lewat latihan” tetap terjadi. Atau seperti pada kasus komoditas atau sistem budidaya lain, “menunjukkan keberhasilan” kepada para pejabat untuk mendorong agar menjadi program kegiatan secara nasional. Lagi-lagi saya masih harus copy-paste dari tulisan 2008, “Kelemahan: Teknik budidaya sidat yang dapat diaplikasikan belum tersedia: sistem dan wadah pemeliharaan yang optimal, pakan yang efisien dan manajemen lingkungan yang mendukung”. Kelemahan itu yang berkait dengan efisiensi usaha.
Pakan dan manajemen lingkungan masih menjadi kelemahan utama untuk mencapai keberhasilan budidaya sidat. Pakan pada proses produksi GE- elver 2 gram masih bergantung pada cacing sutera (Tubifex), yang sudah disadari sebagai sumber penyakit. Ini kemudian berkelindan dengan manajemen lingkungan hingga kemudian menghasilkan tingkat survival hanya di kisaran 50% (ada yang pernah 80% namun ada juga yang rata-rata hanya 37%). Geser dari cacing sutera, berganti dengan pakan buatan berbentuk pasta. Sudah tersedia di pasaran, tapi harganya mahal, setidaknya untuk pembudidaya skala rumah tangga. Dulu, saya berkeyakinan, sudah ada formulasi pakan hasil para peneliti yang ekonomis sehingga bisa digunakan oleh masyarakat. Sekarang, entahlah. Jangan-jangan yang belum ketemu adalah membuat pasta yang sesuai dengan kehendak GE.
Saya sangat berharap, segmentasi bisa terjawab dalam waktu yang relatif dekat. Saya mengikuti pertemuan antara komunitas pembudidaya ikan sidat Sukabumi dengan salah satu perusahaan swasta penghasil, pengolah sekaligus eksportir ikan sidat. Proses produksi GE sampai ikan sidat konsumsi 250 gram memerlukan waktu yang panjang, kisaran 2 tahun. Proses produksi ikan sidat tidak bisa dilakukan seperti ikan gurame yang masih memungkinkan ditempatkan sebagai ikan tabungan yang dipelihara secara polikultur. Sehingga, di tengah segmentasi yang belum terbentuk, rasanya menjadi tidak ekonomis bila proses produksi ikan sidat dilakukan hanya oleh masyarakat. Waktu yang relatif pendek adalah proses produksi GE – elver 2 gram, yaitu 3-4 bulan, kemudian elver – fingerling 10 gram, sekitar 3-4 bulan. Kedua segmen tersebut lebih tepat dilakukan di masyarakat. Kemudian hasil produksinya dijual ke perusahaan untuk kemudian dilakukan pembesaran.