#Road2Village: Inikah sekolahan kami?

Road2Village

Kami bercerita tentang anak-anak yang sekolah di sebuah SD di pinggiran desa. Jangan bayangkan seperti majunya sekolah yang setingkat di perkotaan. Nampaknya, perbedaannya terlalu jauh bahkan sangat jauh.

Setiap tahun, jumlah anak yang terdaftar sekolah sekitar 250-300 orang. Jumlah yang cukup banyak untuk rata-rata di tingkat kecamatan. Namun, nyaris tidak pernah ada yang melanjutkan ke SMP/MTs (untungnya ada yg mau melanjutkan ke SMP satu atap beberapa tahun belakangan ini, yang lokasinya berdampingan dengan SD).

Dalam setahun, nyaris tidak ada hari dengan jumlah anak yang lengkap dalam satu kelas. Padahal jam sekolah sudah ditolerir hanya dari jam 8 sampai jam 12. Ketika dicoba dilewatkan dari waktu tersebut, dengan berbagai alasan (yang mau tidak mau harus diterima daripada kehilangan anak secara keseluruhan) orang tua berdatangan ke sekolah meminta anaknya pulang lebih dulu. Jangan ditanya ketika musim tanam atau mendekati dan saat musim panen datang. Sebagian anak-anak bahkan dibawa menginap berhari-hari di ladang oleh orang tuanya. Bahkan untuk mereka yang tidak menginap, anak-anak ini mempunyai kewajiban menjaga adik-adiknya di rumah.

#Road2Village

Ah, lagi-lagi jangan ditanya, bagaimana menerapkan sistem kurikulum baru. Padahal, orang tua mereka mungkin “hanya berkeinginan” anak-anaknya lulus SD dan bisa baca tulis menghitung. Bahkan ada kasus, anak umur 12 tahun baru masuk SD, itupun setelah dirayu oleh guru yang menemukannya, karena orang tuanya berpendapat kerja di ladang lebih bermanfaat daripada sekolah.

Kami melihat ada yang belum berubah sejak 25 tahun lalu. Ada anak yang semangat untuk sekolah tapi orang tuanya tidak mendukung. Orang tua ingin anaknya sekolah tapi anaknya tidak bergairah. Orang tua mendukung dan anaknya ingin bersekolah, tapi kebutuhan nyata di pekerjaan orang tuanya memaksa si anak meninggalkan bangku sekolah. Atau yang lebih parah dan syukurnya ini sudah berkurang, keduanya tidak merasa perlu untuk meraih pendidikan formal.

Janganlah bayangkan hal ini terjadi di seberang pulau yang baru berhari bisa sampai. Ini masih
terjadi di dekat kita, di tanah kita 200 KM dari ibu kota. Inikah potret pendidikan yang terlewatkan???