“Saya tidak setuju pelarangan itu dicabut karena terlanjur mengeluarkan modal banyak.” Tanpa ragu dia bicara. “Untuk mengamankan pengiriman.” Tambahnya ketika saya tanya modal untuk apa.
Di tempat yang sama, Kopi Sagara. Pesan kopi yang sama, V-sixty. Tempat duduk yang sama, menghadap pintu keluar sebelah barat. Waktu yang sama, selepas jamaah Maghrib di Mesjid Agung. Momen yang sama, menunggu jemputan kawan dari lokasi.
Percakapan dengan tamu meja sebelah, hanyalah suatu kebetulan. Tanpa nama, tanpa alamat, apalagi tukar nomor telepon, paling sekedar nanya mau kemana. Dan seperti biasa, cukup dijawab mau ke daerah Karang Hawu. Kalaupun saat itu, ngobrol kami berkembang, adalah bermula dari musim ikan yang sedang banyak ditangkap, yang kemudian berarus pada perahu-perahu yang sering terlihat di dekat pantai Karang Hawu.
“Kata pak Kyai juga, menangkap baby lobster mah tidak haram. Yang nggak boleh itu jualan narkoba.”
Saya memilih hanya tersenyum.
“Kalau pelarangan dicabut, akan banyak pengusaha baru yang ikut terjun. Harga jual akan menurun. Rugi bagi saya.”
Suatu penjelasan yang cukup logis.
Saya tidak pada posisi mendukung atau menolak pencabutan larangan penangkapan baby lobster untuk ekspor seperti pada Permen KP 56/2016. Saya follow Kementerian Kelautan dan Perikanan, pak Edhi Prabowo, bu Susi Pudjiastuti dan beberapa yang lain yang mungkin terkait. Saya mengikuti komentar mereka, termasuk yang dikutip media.
Bagaimanapun, bila Permen KP 56/2016 akan diubah, sebagai seorang aquaculturist, saya setuju baby lobster boleh ditangkap kemudian dipelihara dalam wadah budidaya. Hal ini pernah saya usulkan kepada pejabat eselon 2 KKP pada tahun 2015, menyikapi Permen KP 01/2015 (sebelum kemudian dicabut dan diubah menjadi Permen KP 56/2016). Betul, saya tidak pernah pelihara tapi saya yakin ada ahli Indonesia yang mampu membudidayakan lobster. Dan keuletan pembudidaya ikan di Indonesia sudah terbukti, misalnya membuat ikan mas Majalaya, pemijahan alami ikan lele, pembenihan ikan Arwana, dll.
Budidaya semestinya menjadi pilihan rasional ketika penangkapan sudah over sehingga mengancam kelestarian (penangkapan sudah over berdasarkan Permen KP 50/2017). Saya setuju bahwa budidaya semestinya dimulai dari pemijahan, namun bukan berarti penangkapan benih dari alam untuk dibudidayakan menjadi tidak boleh. Lagi-lagi, pembudidaya Indonesia punya banyak pengalaman keberhasilan dari benih hasil tangkapan kemudian menjadi memijahkan, sebut saja contohnya udang monodon dan bandeng. Tentu, perlu pengaturan jumlah tangkapan dan zona konservasi agar keberlanjutan lobster di perairan Indonesia tetap terjaga. Sekaligus perlu kajian yang intensif agar baby lobster bisa dihasilkan di panti pembenihan.
Saya yakin, dengan pemanfaatan baby lobster untuk budidaya di dalam negeri, dapat memberi manfaat yang lebih besar dan lebih luas untuk masyarakat. Apakah para nelayan penangkap lobster konsumsi akan menurun pendapatannya? Mungkin awalnya akan terpengaruh, tapi pada titik tertentu akan dicapai keseimbangan. Toh, budidaya juga perlu proses untuk mencapai produksi yang diinginkan.