Nyucruk galur karuhun, pada kisaran 200an M, tersebutlah kerajaan Jampang Manggung, yang berpusat di daerah Cikalong Cianjur kini. Sejaman atau beiringan dengan kerajaan ini, tersebut juga kerajaan Agrabintapura, nama yang sinonim dengan Agrabinta kini. Wilayah yang terlingkupi oleh salah satu atau kedua kerajaan ini adalah bentangan sepanjang pesisir selatan Jawa, dari Cianjur Selatan yang disebut Jampang Wetan hingga Sukabumi Selatan yang disebut Jampang Kulon. Raja Jampang Manggung disebut sempat mengunjungi tanah Jampang (bila Jampang yang dimaksud adalah Jampang kini, berdasarkan versi ini, dapat diduga sudah ada pemukiman penduduk di daerah Jampang). Namun, disebut pula, ada eksodus penduduk Jampang Manggung dan bermukim di daerah selatan yang membawa nama Jampang untuk wilayah yang baru dibuka tersebut (mengacu pada versi ini, pemukiman baru tersebut mungkin berbeda dengan Agrabintapura dan dapat diduga inilah masyarakat awal di wilayah Jampang).
Tersebut juga pada masa kerajaan Galuh (1300an M), daerah Jampang menjadi padepokan mangkubumi BUnisora yang dikenal sebagai Batara Guru (sayangnya, saya tidak pernah dengar cerita adanya Batara Guru ini). Bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Pajajaran (1500an M), wangsit Siliwangi menyebutkan bahwa Prabu Siliwangi lari ke arah selatan, yang kemudian sampai di daerah Jampang (inilah yang kemudian ada yang meyakini adanya maung Siliwangi di daerah Jampang), sebelum sampai di Leuweung Sancang. Pada kronologis lebih lanjut di masa penjajahan Belanda, diceritakan bahwa ada pemimpin pasukan Sultan Agung (1628an M) yang kemudian bermukim di tanah Jampang alih-alih kembali ke Mataram (inilah yang menjadi karuhun orang Kalibunder, nama daerah yang terasa sangat Jawa). Pada masa penjajahan juga, tersebut juga adanya pelarian keturunan Galuh ke wilayah Jampang, untuk menghindari perang dengan pasukan Pangeran Diponegoro (1830an M), yang diyakini menjadi sesepuh/karuhun orang Jampang kini. Bagaimana akurasi kebenaran cerita-cerita tersebut, cukup sulit diverifikasi karena saya bukan sejarawan ataupun arkeolog. Yang jelas, pada era wilayah administratif kewedanaan, dikenal wilayah Jampang Kulon dan Jampang Tengah, sedangkan Jampang Wetan tidak muncul.
Tapi, bila melihat wilayah Jampang Kulon dan sekitarnya, setidaknya dapat dilihat ada kekhasan dalam bertutur. Orang Jampang punya intonasi “ngalaeu” yang berbeda dengan penduduk tetangga dekat seperti Sukabumi (bagian utara) dan Cianjur (termasuk bagian selatan) ataupun dengan “saudara jauhnya” seperti Ciamis atau Yogyakarta. Kekhasan dalam bertutur ini mestinya tidak muncul dalam rentang waktu yang dekat meskipun saya tidak tahu harus berapa generasi. Namun, kekhasan ini mestinya bisa jadi petunjuk bahwa masyarakat Jampang sudah terbentuk dalam rentang waktu yang panjang (lagi-lagi ini perlu dilihat oleh ahli sejarah budaya). Salah satu kemungkinan pembentukan intonasi ngalaeu ini adalah dari kebiasaan masyarakat untuk memanggil tetangga yang rumahnya cukup berjauhan atau dari kebiasaan berburu (hingga sebelum tahun 2000an, komunikasi antar pemburu babi hutan dengan intonasi yang khas masih bisa didengar).