Ironis, mungkin lebih tepat dikata begitu, hanya 200km dari gedung menjulang di ibukota negara, masih terdapat sekolah dasar dengan status daerah terpencil. Tentu, bukan karena alasan jarak, tapi lebih karena “terisolir” akibat minimnya infrastruktur jalan. Ya, meskipun (mungkin) kebanyakan merupakan jalan desa, pada beberapa ruas, jalan sudah dibuka untuk kendaraan roda 4 dan dibatu sejak 30an tahun lalu, dan hingga kini, kondisinya masih tetap cuma jalan batu.
Pada awalnya, daerah Cimahpar adalah satu desa yang termasuk ke dalam kecamatan Jampang Kulon. Akses ke daerah ini, hanya melalui jalan terjal dengan harus menyebrangi jembatan bambu di Sungai Ciseureuh. Sedemikian terisolir, sampai-sampai penduduk Cimahpar pernah disebut “beuki uyah”. Saat itu, para tengkulak hasil bumi dari Cimahpar biasa menjual hasil bumi dan sekaligus membeli kebutuhan sehari-hari ke pasar pekan di Jampang Kulon. Karena pembelanjaan harus mencukupi semua petani di kelompoknya, para tengkulak tentu harus membeli dalam jumlah cukup besar, termasuk membeli garam. Karena akibat itulah, kemudian orang Cimahpar disebut beuki (suka) garam.
Perkembangan selanjutnya, sejalan dengan pembentukan kecamatan Kalibunder, desa Cimahpar terbawa ke kecamatan tersebut dan akses jalan dibuka melalui Palayangan. Perlu belasan tahun hingga jalan terbuka diberi aspal. Belakangan, jalan ini tersambung ke kecamatan Cibitung melintasi Sungai Ciseureuh, namun belum tersedia jembatan di Sungai Cikaso untuk akses ke kecamatan Tegalbuleud. Saat ini, desa Cimahpar sudah dipecah menjadi tiga desa, yaitu Cimahpar, Sekarsari dan Mekarwangi.
Sebagai desa (atau sebutan yang setaraf saat itu), Cimahpar telah terbentuk sekitar 100-150 tahun lalu. Nama desa diambil dari nama Sungai Cimahpar, tempat balai desa pertama kali didirikan di sekitar muara sungai tsb ke sungai Ciawitali. Sungai Cimahpar, saat ini mengalir membelah kampung Cikadu (termasuk desa Sekarsari), di bagian hulu sungai terdapat batu yang “mahpar” (bebatuan yang menghampar). Adalah sebuah kewajaran, nama daerah mengikuti sumber air di wilayah tsb. Balai desa sendiri didirikan di tempat tersebut cukup aneh untuk kondisi saat ini mengingat nyaris tidak ada perkampungan di sekitar itu. Namun dari jalan akses saat itu, yang berbeda dengan saat ini, letak balai desa merupakan lawang saketeng (gapura) untuk memasuki daerah Cimahpar. Dulu, akses Cimapar melalui dari kampung Surupan (sekarang termasuk desa Sukamanah kec Cimanggu), melintasi bukit ke arah selatan, kemudian turun dan menyebrangi sungai Ciawitali di sekitar muara Sungai Cimahpar.
Balai desa sempat beberapa kali pindah. Dari muara Sungai Cimahpar berpindah ke kampung Cikiwul. Disini cukup banyak penduduk. Lokasinya saat ini dibangun mesjid, di sebelah kanan jalan kalau masuk ke wilayah Cimahpar. Balai desa kemudian dipindah lagi ke kampung Cisaat, di sekitar SD Cimahpar 1 saat ini. Terakhir, balai desa pindah ke lokasi saat ini.
Berganti zaman, desa Cimahpar sudah berkali ganti kepala desa (mungkin dulu dengan sebutan lurah atau kuwu). Sayangnya, tidak ada catatan mengenai periode tiap pemimpinnya. Kemungkinan, dulu tidak ada periodisasi sehingga kepala desa menjabat selama yang bersangkutan mampu/sehat. Kalaupun berhenti, kedudukannya masih sangat dihargai dan diakui oleh masyarakat sehingga sering dikenal sebagai lurah/kuwu hormat. Dari ingatan masyarakat, hingga saat ini, setidaknya sudah ada 10 orang yang menjabat sebagai kepala desa Cimahpar. Diawali oleh (1) abah Dahab sebagai lurah pertama dan tersebut sebagai lurah hormat, kemudian berturut-turut dilanjutkan oleh (2) abah Aid, (3) abah Sarkam, (4) abah Sarodi, (5) abah Oping, (6) abah Uip, (7) pak Aen, (8) pak Ijan dan (9) pak Solihin. Saat ini, kepala desa dijabat oleh (10) pak Umar.