Abah: Sebuah Pembelajaran Visi

Abah Haji Utjup Supandi

“Titip Ema.” Berulang kali Abah mengatakannya sambil menangis, di saat-saat akhir sebelum hilang kesadaran hingga kemudian menuntaskan tugas kehidupan Beliau. Sebuah penegasan estafet tanggung jawab, selain dari suatu kewajiban, dan aku sudah tanamkan sebagai sebuah kesadaran.

“Kotorannya bercampur darah hitam.” Kata Ema di pagi hari setelah Abah buang air besar. Aku memapah Abah kembali ke tempat tidur sementara Ema membersihkan kloset. Ah, rasanya harapan kian tergerus meski aku tetap berharap keajaiban, Abah kembali sehat setelah dua bulan tergolek sakit karena komplikasi penyakit jantung, paru-paru, darah tinggi hingga asam urat. Sudah beberapa tahun terakhir, Abah memiliki keluhan kesehatan, terutama darah tinggi dan asam urat. Dua bulan lalu, Abah dirawat di rumah sakit, awalnya karena keluhan asam urat. Namun, tiga hari kemudian, Ema menyusul harus dirawat juga karena mungkin terlalu kecapaian. Abah sempat dinyatakan sehat dan boleh pulang pada hari ke-empat, namun Ema masih harus dirawat. Mendengar hal tersebut, tekanan darah Abah tiba-tiba meningkat tajam dan harus dirawat lebih lanjut. Sejak itu, Abah tidak mau makan. Ketika empat hari kemudian, Ema diperbolehkan pulang, Abah ikut serta. Selama perawatan di rumah, Abah hanya makan dalam 2-3 hari, itupun hanya 2-3 kepal nasi. Abah tidak mau dirawat kembali di rumah sakit, tidak mau diberi infus, tidak mau makan obat. Badan Abah melorot, nyaris hanya tulang dibungkus daging. Tapi, selama itu, Abah masih memiliki kesadaran, masih bisa diajak berkomunikasi.

Hari Ahad, keesokan harinya, Abah tiba-tiba ingin duduk di kursi depan rumah, setelah sempat buang air yang juga bercampur darah hitam. Semalam, meski tidur hanya sebentar-sebentar, tapi Abah tidak banyak keluhan, tidak seperti biasanya. Abah masih sempat menjawab tetangga yang kebetulan lewat depan rumah, meski dengan suara yang berat. Setelah sekitar sepuluh menit, Abah minta masuk pindah ke kursi dalam rumah. Diganti Ema, aku sempat meninggalkan Beliau untuk buang air kecil ke belakang. Ketika aku kembali, Ema berteriak memanggil. Aku melihat Abah sudah terduduk di tempat tidur, sementara Ema memegang ember kecil. Beberapa kali, Abah muntah dengan mengeluarkan darah, yang lebih mirip seperti pancuran air. Setelah agak reda, segera aku panggil bibi di rumah sebelah dan menelepon semua kakak dan pamanku. Hari itu, mestinya aku jadwal pulang ke Sukabumi, tapi aku putuskan untuk tetap di rumah menunggui Abah. Seharian sampai malamnya, Abah hanya bisa bangun tidur, terduduk 2-3 kali, namun masih bisa merespon percakapan dan mengenali orang-orang yang datang. Abah juga masih sempat mengulangi permintaan ingin disholati (dengan imam) pamanku dan ingin diberangkatkan (dikebumikan) oleh adik sepupuku. Hingga shubuh, Abah masih memiliki kesadaran dan memberikan merespon.

Senin pagi, sambil duduk, Abah kembali muntah. Hanya sedikit air ludah yang keluar, meskipun beberapa kali ingin mengeluarkan. Abah tertunduk lemah sementara Ema mengusapi mulut Beliau. Ketika dipanggil-panggil, Abah tidak memberi respon. Secara perlahan Abah kami tidurkan. Kaki tangan Beliau terasa dingin dan detak nadi yang sangat lemah. Tengah hari, napas Abah mulai mengorok. Abah tidak memberi respon apapun, meski sempat membuka mata. Malam, napas Beliau makin berat. Semua famili dan tetangga sudah berkumpul. Menjelang tengah malam, paman mengajak yang hadir untuk bersama-sama membaca Qur’an surat Ar-Raad. Beberapa ayat pada bacaan pengulangan kedua, tiba-tiba kakak sepupuku berteriak. Sejak sebelumnya, dia terus-menerus membaca kalimat talbiyah di telinga kanan Abah. Mata Abah sudah terbuka dengan napas yang semakin pendek. Aku memegangi tangan Beliau yang terlipat di dada sambil memandangi wajah dan mulutnya. Senin 28 Desember 2015 pukul 23.56, Abah meninggal dunia dengan tenang, menuntaskan tugasnya di dunia ini, membimbing kami semua anak-anaknya.

Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’uun.
Telah meninggal dunia Abah Haji UTJUP SUPANDI
ayahanda dari ADE SUNARMA
pada hari Senin tanggal 28 Desember 2015 17 Robbi’ul Awal 1437 Pukul 23.56
Mohon maafkan atas segala kesalahan Beliau, selama Beliau hidup.
Mohon doa semoga Beliau diterima segala amalnya dan diampuni segala dosanya serta keluarga yang ditinggalkan diberi kesabaran. Aamiin.

Abah terlahir sebagai putra bungsu dari dua bersaudara dari pasangan Bah Ogin dan Ma Sahni, selain juga Beliau memiliki dua kakak yang lain yang seibu. Sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar di daerah Citanglar Surade, kemudian menamatkannya di Cimahpar. Selanjutnya, Abah menempuh pendidikan sekolah teknik (setingkat SMP) di Sukabumi. Abah merupakan orang pertama yang menempuh pendidikan setinggi itu dari desa kami. Berasal dari daerah “terisolir”, dimana pendidikan formal bukan sebuah kebutuhan, bahkan mungkin suatu “keanehan” pada saat itu, Abah berkeras hati untuk tetap melanjutkan sekolah.

Tahun 1964, Abah diangkat sebagai pegawai negeri sipil dan bertugas sebagai guru di daerah Kalapa Nunggal. Dari sana, Abah pindah ke SD Cibeber (sekarang termasuk ke kecamatan Cimanggu) kemudian SD Malangbong (sekarang termasuk ke kecamatan Tegal Buleud). Abah kemudian berpindah ke SD Puncak Kalong, Sagaranten dan selanjutnya, sekitar tahun 1973, pindah sebagai staf di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan Sagaranten. Tahun 1985, Abah pulang kampung, pindah ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kecamatan Kalibunder sampai pensiun pada tahun 1997. Untuk ukuran sekarang, antar daerah dimana Abah pernah bertugas, bukanlah jarak yang jauh. Namun di masa sebelum tahun 90-an, jarak tersebut kebanyakan ditempuh dengan jalan kaki. Dari Sagaranten ke Cimahpar, perlu seharian berjalan kaki, termasuk ketika Ema akan melahirkanku.

Karena hanya pegawai rendahan, Abah selalu bersabar banting tulang membesarkan anak-anaknya di Sagaranten. Suatu ketika, Abah harus membantu memikul kelapa milik atasannya hanya untuk memperoleh dua liter beras untuk bekal hari raya Idul Fitri keesokan harinya. Ketika kami, anak-anaknya, sudah beranjak remaja, terutama ketika aku memasuki masa kuliah, bolak-balik Abah meremajakan pinjaman uang di bank demi membiayai sekolah kami. Bukan hanya, sahuap diduakeun (sekepal nasi dibagi dua), bahkan kepalan itu diberikan seadanya untuk kami. Wajarlah, bila kemudian, rumah Abah baru layak ditinggali setelah sekitar 17 tahun pembangunan. Memang, Abah mengharuskan semua anak-anaknya selesai pendidikan tingkat SMA. Beliau selalu mengatakan, anak-anaknya harus bisa memperoleh pendidikan melebihi yang Beliau bisa peroleh. Dan aku, telah memberatkan sekaligus menjadi harapan Beliau, karena memiliki kesempatan untuk kuliah. Abah, yang selalu dengan penuh kebanggaan, menceritakan pada saudara dan tetangga tentang kuliahku, tentang pekerjaanku dan tentang perjalanan dinas yang telah aku lakukan, terutama kedinasan ke luar negeri.

Dengan segala keterbatasan secara ekonomi, Abah selalu menunjukkan optimisme. Aku selalu memahaminya seperti optimisme seorang petani, yang memang latar belakang keluarga kami secara turun-temurun: Lakukan apapun yang terbaik bagi padi/tanaman dan biarkan alam memberikan kebaikannya. Entahlah esok padi itu akan berbulir padat atau cuma menjadi santapan hama. Entahlah besok akan ada turun hujan membasahi sawah tadah-hujan kami, hari ini tetap saja benih ditanam. Aku tidak pernah mendengar Abah mengeluh karena ketiadaan hasil tanaman di saat gajinya sudah habis untuk membayar angsuran pinjaman. Abah hanya mengatakan “Mudah-mudahan minggu depan Abah bisa mengirim uang”, ketika suatu hari saat aku kuliah, Abah hanya bisa menengok ke Bogor tapi tidak bisa memberi bekal. Aku bisa menerima dan memahami keadaan itu dengan bertekad untuk bisa tetap menyelesaikan kuliah dan menerima bekal yang diberikan Abah berapapun adanya tanpa menyebut beragama kebutuhan yang aku harus penuhi.

Sedemikian banyak pelajaran kehidupan yang telah Abah wariskan, jauh melebihi sepetak lahan yang menjadi tinggalan Beliau, yang itupun dari kakek nenekku. Pelajaran kehidupan yang telah menempaku untuk percaya diri menghadapinya. Pelajaran kehidupan yang membuat Aku begitu mengagumi dan mencintai Beliau. Dan pasti, aku akan menjalankan amanat Abah untuk tetap menjaga Ema. Aku meminta agar Abah dikuburkan di tanah tinggalan Beliau agar kami lebih mudah menziarahi, dan berharap suatu saat nanti aku bisa dikuburkan juga disamping Beliau.