Pakujajar di Gunung Parang

Kutunggu kembalinya dirimu di Pakujajar,
Dirimu yang sedang diutus waktu dan diperintah zaman,
Meski hingga tegal kole telah berganti rupa.

“Kisah cinta Wangsa Suta & Pudak Arum – Legenda asal usul Kota Sukabumi”

Pakujajar di Gunung Parang

oleh: Ki Anis Djatisunda

Nyusuk catur munday carita karuhun
Pagadungan papantunan
Padjadjaran seseleh kana papasten
teungteuingeun musuh taya rasrasan
deudeuh teuing nu geulis Nyi Pudak Arum
pasini teu kungsi jadi
Pakujajar di Gunung Parang gugupay
ngaharewos talatah Ki Wangsa Suta
Tegal Kole baris salin ngaran
Sukabumi dayeuh manggung

Belajar haleuang (lagu) ini ketika sekolah dasar. Entahlah, saat ini, masih diajarkan pula pada anak-anak sekolah. Yang jelas, lagu ini jadi haleuang favorit, meski tidak pernah mendengar diudarakan di radio, apalagi dalam bentuk mp3. Sehingga, bila ingin mendengar haleuang ini, harus ngahaleuang sendiri…..

Haleuang ini diambil dari legenda asal usul kota Sukabumi, yang berkaitan dengan kisah cinta Ki Wangsa Suta dengan Nyi Pudak Arum. Kisah ini dapat ditemukan di sukabumikota.go.id. Terima kasih kepada Endang Sumardi sebagai penulisnya dan mohon izin saya kopas.

Rumpaka atau lirik lagu Paku Jajar Di Gunung Parang, karya salah seorang sastrawan sekaligus budayawan Kota Sukabumi, almarhum Ki Anis Djatisunda, yang memiliki sandi asma atau nama samaran Ki Rakean Puraga Sastra. Menurut Ki Anis Djatisunda, lagu tersebut diambil dari kisah sebuah dongeng atau ceritera kejadian asal-usul Kota Sukabumi, yakni Paku Jajar di Gunung Parang, yang kejadiannya kira-kira pada jaman Padjadjaran Runtag atau Runtuh, yakni pada abad ke-16, akibat digempur oleh pasukan Kesultanan Banten, yang dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak.

Dijelaskannya, Sukabumi yang terletak di antara kaki Gunung Gede dan kaki Gunung Salak, pada masa itu disebut Tatar Pagadungan. Ada pula yang menyebut Tanah Awatan Pagadungan dan Papanah Awatan Pagadungan. Tatar atau wilayah tersebut, berada dibawah kekuasaan Padjadjaran Tengah, wilayah Bogor. Pada saat Padjadjaran digempur oleh pasukan Kesultanan Banten, yang dibantu oleh pasukan dari Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak, Tatar Pagadungan pun tidak luput digempur oleh pasukan tersebut.

Adapun pusat Kabupaten Pagadungan, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kadatuan Pamingkis ini, kira-kira berada di daerah Gunung Walat, dekat daerah Cibadak sekarang. Sedangkan yang menjadi Bupati atau Datu pada masa itu, bernama Ki Ranggah Bitung. Sementara isterinya bernama Nyai Raden Puntang Mayang. Dalam pertempuran tersebut, Pusat Kabupaten Pagadungan porak poranda, serta dibakar hingga hangus.

Selain itu, dalam pertempuran tersebut, Bupati atau Datu Ki Ranggah Bitung gugur di medan perang. Sedangkan isterinya, Nyai Raden Puntang Mayang, pada saat itu sedang mengandung anak pertamanya. Untuk menyelematkan Nyai Raden Puntang Mayang, Jaro atau Lurah Kadatuan Pamingkis yang bernama Ki Jaro Loa Kutud dan isterinya bernama Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, membawanya mengungsi. Mula-mula ke Gunung Bongkok, kira-kira di daerah Cibadak. Di Gunung Bongkok, Ki Jaro Loa Kutud dan isterinya, mendapat keterangan dari Resi Tutug Windu, bahwa Nyai Raden Puntang Mayang, harus dibawa mengungsi ke Gunung Sunda, yang letaknya berada di daerah Palabuhan Ratu.

Setelah mendapat keterangan dari Resi Tutug Windu, Nyai Raden Puntang Mayang pun dibawanya ke gunung tersebut, oleh Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya. Di tengah perjalanan tepatnya di sebuah hutan menuju Gunung Sunda, Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang Mayang, menemukan salah seorang anak laki-laki yang memiliki wajah jelek sekali (note pribadi: pada sumber lain dikatakan wajahnya kasep/tampan), karena mukanya seperti Monyet atau Kera, kira-kira berumur antara 6 sampai dengan 7 tahun. Setelah ditanya oleh Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang Mayang, anak tersebut berasal dari mana, termasuk nama orang tuanya (ibu dan ayahnya) siapa?, anak tersebut tidak mau menjelaskannya. Anak tersebut hanya mengatakan berada di hutan itu karena ada yang membawa, pada saat kampung halamannya dibakar. Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya dan Nyai Raden Puntang Mayang, memiliki keyakinan, bahwa anak tersebut bukan anak orang kebanyakan. Lantas anak tersebut dibawanya mengungsi ke Gunung Sunda.

Dalam pengungsiannya di Gunung Sunda, Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, memanja dan menjaga Nyai Raden Puntang Mayang dengan baik, hingga tiba saatnya melahirkan seorang anak perempuan, yang diberi nama, Nyai Raden Pudak Arum, ada juga yang menyebut, Nyai Arum Pudak Saloyang. Nama tersebut diambil dari nama Bunga Jaksi, yang disebut Pudak. Sedangkan Arum diambil dari Harum atau Wangi Bunga Jaksi. Atau nama tersebut bisa diartikan Bunga Jaksi yang Harum.

Demikian pula anak laki-laki yang ditemukan di tengah perjalanan menuju Gunung Sunda, dirawat dan dipelihara dengan baik oleh Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, termasuk oleh Nyai Raden Puntang Mayang, serta diberi nama, Wangsa Suta. Karena Nyai Raden Pudak Arum dan Wangsa Suta hidup dan dibesarkan pada tempat yang sama serta oleh orang-orang yang sama pula, maka pada saat menginjak dewasa, kedua anak tersebut saling sayang menyayangi, yang akhirnya pada-pada jatuh cinta, serta saling berjanji akan sehidup semati, yang akan diikat dengan tali perkawinan.

Namun kendati Wangsa Suta telah mengikat janji dengan Nyai Raden Pudak Arum, Wangsa Suta memiliki keinginan untuk berkelana mencari ilmu terlebih dahulu. Setelah mendapat ijin dari Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, termasuk oleh Nyai Raden Puntang Mayang, beserta puterinya, Nyai Raden Pudak Arum, Wangsa Suta pun pergi menyusuri hutan, hingga sampailah ke sebuah hutan, yang letaknya di sebelah selatan Gunung Walat, tepatnya dekat daerah Cikembar sekarang. Di hutan tersebut, Wangsa Suta bertemu dengan seorang resi, bernama Resi Saradea. Setelah mengemukakan maksud dan tujuannya kepada Resi Saradea, Wangsa Suta diterima menjadi murid Resi Saradea, serta diberi pelajaran berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan, termasuk ilmu kesaktian, ilmu membangun, ilmu perang, dan sebagainya.

Pada suatu hari, setelah Wangsa Suta memiliki berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan serta kesaktian yang cukup, Resi Saradea berpesan kepada Wangsa Suta, agar sebelum melangsungkan pernikahan dengan Nyai Raden Pudak Arum, Wangsa Suta harus membuat sebuah kampung terlebih dahulu di Gunung Parang, tepatnya di sebuah tempat yang miring ke sebelah selatan, yang ada pohon Kiara Kembar dan pohon Paku Jajar yang bercabang atau berdahan lima, serta banyak pohon Kole atau Pisang Hutan, yang berdaun ungu dan berbunga hijau. Setelah tempat tersebut ditemukan, Wangsa Suta tidak menyia-nyiakan waktu, ia segera membuat kampung sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Resi Saradea. Menurut keterangan dari berbagai sumber yang disampaikan kembali oleh almarhum Anis Djatisunda, bahwa pohon Kiara Kembar tersebut, berada di sekitar Lapangan Merdeka Kota Sukabumi sekarang. Sementara pohon Paku Jajar yang bercabang atau berdahan lima, berada di Jalan Martadinata sekarang, tepatnya pada lahan yang digunakan HBC (Home Builders Center) Sukabumi.

Sedangkan Nyai Raden Pudak Arum, pada saat Wangsa Suta berkelana mencari ilmu dan membuat kampung di Gunung Parang, nama dan kecantikannya terdengar ke berbagai pelosok daerah, sehingga banyak bangsawan dan para pembesar yang hendak mempersuntingnya.

Pada suatu hari, datang seorang utusan Demang Sukamukti, yang maksudnya meminang Nyai Raden Pudak Arum, untuk dijadikan selir demang tersebut. Pada kesempatan tersebut, baik Ki Jaro Loa Kutud beserta isterinya, Nini Rumpay Tanggeuy Ringsang, maupun Nyai Raden Puntang Mayang, tidak bisa mengambil keputusan atas kehendak demang tersebut, yang akhirnya mereka menyerahkannya kepada Nyai Raden Pudak Arum. Namun kehendak demang tersebut, ditolak secara baik-baik oleh Nyai Raden Pudak Arum, karena ia sudah bertunangan dengan Wangsa Suta. Akan tetapi utusan demang tersebut memaksanya secara kasar, yang akhirnya terjadilah perkelahian dengan Nyai Raden Pudak Arum. Dalam perkelahian tersebut, karena Nyai Raden Pudak Arum termasuk salah seorang perempuan yang tomboy serta memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, ia berhasil mengambil keris kepunyaan utusan demang tersebut, serta dilengkung-lengkungkannya hingga hampir patah, di depan mata utusan demang tersebut, sehingga utusan demang tersebut merasa kaget dan malu. Namun demikian, kendati Nyai Raden Pudak Arum memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, akhirnya bisa ditangkap sekaligus dibawa untuk dipersembahkan kepada Demang Sukamukti. Namun aneh bin ajaib, ketika akan mempersunting Nyai Raden Pudak Arum, Demang Sukamukti meninggal dunia secara tiba-tiba, sehingga Nyai Raden Pudak Arum selamat dan berhasil melarikan diri.

Kabar kecantikan Nyai Raden Pudak Arum tersebut, juga terdengar oleh bangsawan-bangsawan kaya, khususnya yang tinggal di Padabeunghar sekarang. Adapun sebab-musebabnya disebut Padabeunghar, karena di tempat tersebut banyak bangsawan “beunghar” atau “kaya”. Hal tersebut sesuai dengan namanya Padabeunghar, yakni pada-pada atau sama-sama “beunghar” atau “kaya”. Bangsawan-bangsawan tersebut, sama-sama ingin mempersunting Nyai Raden Pudak Arum. Namun nasib bangsawan-bangsawan tersebut, tidak jauh berbeda dengan nasib Demang Sukamukti. Karena setiap bangsawan-bangsawan tersebut akan mempersunting Nyai Raden Pudak Arum, senantiasa mengalami nasib yang sama dengan Demang Sukamukti, yakni meninggal dunia secara tiba-tiba. Demikian pula nasib yang dialami oleh salah seorang yang kaya raya, bernama Ki Puru Sastra, yang berhasil mempersunting Nyai Raden Pudak Arum, ketika akan tidur bedua bersama Nyai Raden Pudak Arum, Ki Puru Sastra juga meninggal dunia secara tiba-tiba.

Selain itu, juga salah seorang haji yang tinggal di daerah Cantayan, yang memiliki isteri lebih dari 20 orang, namanya Haji Ijamal’an, pada saat akan melamar Nyai Raden Pudak Arum, di pertengahan jalan disambar petir, hingga meninggal dunia seketika. Perlu dijelaskan, pada waktu itu, di Tatar Pagadungan sudah ada haji, karena agama Islam sudah masuk, serta penganutnya sudah cukup banyak.

Kabar tentang kecantikan dan kesaktian Nyai Raden Pudak Arum, serta banyaknya korban laki-laki yang meninggal dunia secara tiba-tiba tersebut, pada suatu hari terdengar oleh Demang atau Lurah Mangkalaya, bernama Demang Kartala, tepatnya di daerah Cisaat sekarang. Demang tersebut mempunyai salah seorang penasehat orang Jawa, bernama Sakatana. Menurut Sakatana, perempuan yang bernama Nyai Raden Pudak Arum tersebut, lebih baik dibunuh saja, karena perempuan tersebut sangat “sangar” atau pembawa sial dan celaka. Pendek kata, Nyai Raden Pudak Arum berhasil ditangkap, lalu kedua tangan dan kakinya diikat, untuk dihukum pati, dengan cara dipenggal lehernya.

Sementara Wangsa Suta yang sedang membuat kampung di Gunung Parang, sengaja pergi ke daerah Mangkalaya, karena merasa tidak enak hati. Namun ketika sampai di daerah Mangkalaya, Wangsa Suta merasa kaget yang tiada tara, karena mendapat kabar Nyai Raden Pudak Arum akan dihukum pati, dengan cara dipenggal lehernya, atas perintah Demang Mangkalaya. Namun pada saat salah seorang algojo akan memenggal leher Nyai Raden Pudak Arum dengan sebuah golok, Nyai Raden Pudak Arum berhasil diselamatkan oleh Wangsa Suta, seraya berbisik kepada Nyai Raden Pudak Arum, agar menunggunya di Gunung Parang, tepatnya di bawah pohon Paku Jajar yang bercabang atau berdahan lima.

Setelah berbisik kepada Nyai Raden Pudak Arum, Wangsa Suta berkelahi dengan salah seorang algojo. Namun pada saat Wangsa Suta sedang berkelahi dengan salah seorang algojo tersebut, Nyai Raden Pudak Arum berhasil ditangkap kembali oleh dua orang algojo lainnya. Selanjutnya kedua tangan dan kakinya diikat kembali, serta dimasukan ke dalam sebuah karung dan diikat sangat erat, yang selanjutnya dibawa dan dijual ke Pulau Puteri, ada pula yang menyebut ke Kepulauan Seribu, yang letaknya berada di teluk Jakarta, tanpa sepengetahuan Wangsa Suta. Karena pada saat sedang berkelahi dengan salah seorang algojo tersebut, Wangsa Suta mengira, bahwa Nyai Raden Pudak Arum berhasil melarikan diri, serta sudah sampai dan menunggu di Gunung Parang. Setelah berhasil membunuh salah seorang algojo tersebut, Wangsa Suta cepat-cepat pergi ke Gunung Parang, untuk menemui Nyai Raden Pudak Arum. Namun setelah sampai di Gunung Parang, Wangsa Suta sangat terkejut, karena Nyai Raden Pudak Arum tidak ada di Gunung Parang. Lantas Wangsa Suta memanggil gurunya, Resi Saradea, yang pada saat Wangsa Suta pergi untuk membuat kampung di Gunung Parang, Resi Saradea pun pindah ke Gunung Arca, tepatnya tidak jauh dari Pasir Bedil, atau berada di sebelah barat dari daerah Cijangkar Nyalindung sekarang.

Setelah dipanggil oleh Wangsa Suta, Resi Saradea pun datang, seraya berkata kepada Wangsa Suta, yang isinya meminta agar jangan mencari dan memikirkan Nyai Raden Pudak Arum. Karena Nyai Raden Pudak Arum sedang diutus oleh waktu dan diperintah oleh zaman. Selain itu, ia juga meminta kepada Wangsa Suta, agar menunggu waktu kembalinya Nyai Raden Pudak Arum ke Gunung Parang, yang waktu dan zamannya sudah berbeda dan berganti, yakni apabila Gunung Parang sudah dipenuhi oleh rumah, dan Tegal Kole sudah berubah menjadi Kota. Karena pada saat itu, akan ada salah seorang perempuan cantik, yang suka membimbing masyarakat, khususnya masyarakat yang sedang menderita baik lahir maupun batin, serta senantiasa memberikan motivasi dan membesarkan hati perempuan, ter-utama perempuan yang disakiti oleh suaminya. Perempuan tersebut, menurut Resi Raradea, titisan Nyai Raden Pudak Arum. Pada waktu itulah, antara Wangsa Suta dengan Nyai Raden Pudak Arum dapat bertemu dan bersatu kembali.

Wallahu alam bishawab!

 

Yang mau mendengarkan tembang Pakujajar di Gunung Parang