#UjungSelatanNegeri

Kami menyebutnya cuma burung Caladi. Pohon petai adalah favorit burung ini mencari ulat dan bersarang. Dibanding burung kicau, Caladi tidaklah termasuk pilihan untuk kami pelihara. Pun kalau berburu untuk dimakan, lebih sering dibiarkan saja.

Namun, Caladi sempat dianggap “hilang”, ketika penggundulan hutan merajalela di awal reformasi 10-15 tahun lalu. Kami kehilangan bunyi “tuk…tuk…tuk” yang menjadi ciri khas burung ini ketika membuat sarang atau bahkan mencari makan di batang pohon. Bersamaan dengan itu, kami juga nyaris kehilangan cericit kicau di pagi hari. Bukan cuma tekukur dan kutilang, bahkan semacam ciplek dan beureum seupah, entah pergi kemana.

Caladi

Masa itu pula, sebagian besar para lelaki, pada pergi hanya untuk mencari sesuap nasi. Sebagian mengadu nasib menembus perut bumi mencari emas sebagai penambang liar, sementara yang lain menyadap kelapa di perkebunan, tentu bersama istri mereka. Padahal, secara tradisional, menyadap kelapa sudah menjadi tumpuan hidup berketurunan di kampung sendiri. Apatah kata, kegersangan telah merontokan air sadapan hingga tidak bisa jadi sandaran lagi. Bahkan
sadapan yang tersisapun, cukup sulit mengolahnya karena kayu bakar yang sulit didapat.

Penggundulan hutan…… Itulah salah satu dampak reformasi yang kami rasakan. Kalaupun belakangan, ada upaya penanaman kembali yang difasilitasi pemerintah, nampaknya tidak cukup berhasil. Ketika bukit kosong ditanami dan kemudian dibiarkan, apa yang bisa kita harapkan. Bila wajarnya 5-7 tahun sudah siap tebang atau tumbuh bagus, agaknya tidak terjadi. Entahlah…..

Hari ini, kami melihat Caladi lagi. Bahkan lebih dari itu, saudara kami pernah menemukan sarang dan anaknya. Kemunculannya, seakan menjadi pertanda hijaunya kembali kampung. Dan riuh kicau kembali terdengar di pagi hari.

Meski, setelah 20 tahun, kami masih harus menikmati aspal coklat di tanah (yang katanya) merdeka…… Kampung yang hijau dan burung yang riuh berkicau, Aku berharap keseimbangan alam dapat kembali terjaga.

#UjungSelatanNegeri

Note:
Burung caladi tilik (Picoides moluccensis) merupakan burung asli (native) Indonesia yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Nusa Tenggara. Termasuk pada Resiko Rendah pada skala IUCN