“Saya ingin gurame saya ini bersertifikat yg diakui pemerintah”. Kalau saja pernyataan itu keluar pada saat-saat sekarang, tentu tidaklah mengherankan. Tapi, ketika justru keluar dari mulut seorang pembudidaya sekitar tahun 2000an lalu, tentu sangat mencengangkan. Tentu, karena pada saat itu, sosialisasi sertifikasi saja masih terbatas dan belum sampai ke tingkat pembudidaya. Bahkan, standar nasional proses produksi ikan saja masih sebatas rancangan. Namun, penyataan itulah yang kemudian mendekatkan silaturahmi saya dan secara intens melakukan diskusi dengan kang Dedi Dahlan, seorang pembenih gurame di Singaparna, Tasikmalaya.
Kami bertemu nyaris tanpa sengaja. Berawal dari informasi teman pegawai Dinas yang mengatakan ada pembenih yang menetaskan telur gurame pakai baskom di dapur. Informasi itu cukup berbeda dengan kebanyakan pembenih di Tasikmalaya saat itu. Hingga, kepenasaran telah mengantarkan saya untuk melihatnya. Ada setidaknya 30 wadah penetasan telur yang tersedia untuk menampung telur dari seratusan induk yang ada. Larva yang dihasilkan kemudian dipelihara lebih lanjut pada bak pendederan yang hanya 3 buah. Yang sangat menarik perhatian pada diskusi pada pertemuan pertama kami hari itu, kang Dedi bercerita memiliki “buku petunjuk yang tidak akan ditemukan di toko” yang secara jelas menyebut beragam ukuran gurame (dalam ukuran centimeter tapi sepadan dengan ukuran tradisional yang dikenal di masyarakat) lengkap dengan teknik proses produksinya dan hal-hal lain yang tidak pernah beliau temukan. Sebagai pembenih pemula, beliau mengemukakan buku itu sangat berbeda dengan buku yang ada di pasaran. Setelah secara seksama mendengarkan paparan beliau, saat itu saya bisa menduga apa buku dimaksud. Diskusi lanjut kemudian kami mengupas apa yang kemudian dikenal sebagai “Standar Nasional Indonesia Proses Produksi Benih Ikan Gurame”.
Dari diskusi itu pula, kemudian lebih meyakinkan beliau bahwa untuk penerapan proses produksi secara berkelanjutan diperlukan penambahan fasilitas pemeliharaan benih sekaligus upaya melakukan pencatatan produksi sebagai persiapan menuju sertifikasi seperti yang beliau inginkan. Berselang satu-dua tahun kemudian, impian kang Dedi untuk penambahan fasilitas pendederan terwujud dengan pembangunan 40 bak pendederan benih gurame lengkap dengan hatcheri untuk proses penetasan. Belakangan, fasilitas semakin ditambah untuk proses pendederan lanjut dan pembesaran. Demikian pula dengan sertifikasinya yang kemudian dapat diperoleh atas nama Unit Pembenihan Rakyat SEMATA, Singaparna. Yang sangat membanggakan, secara konsisten, beliau mempertahankan sertifikasi tersebut bahkan ditengah nyaris tidak adanya keuntungan finansial yang diperoleh dari sertifikasi tersebut.
Semangat kang Dedi bukan hanya terbatas bagaimana meningkatkan produksi di tempat yang beliau miliki, namun juga bagaimana meningkatkan efisiensi produksi dan pengembangannya di masyarakat. Ketika isue pakan alternatif menggunakan maggot baru mengemuka pada tahun 2003an, atas inisiatif sendiri beliau membuat sistem produksi maggot dengan memanfaatkan bulu ayam. Ketika di seminar-seminar ramai diwacanakan untuk ada gerakan demam gurame dan perluasan pasar, beliau mencari celah untuk bisa melakukan ekspor benih gurame. Kang Dedi juga berusaha untuk memberdayakan para pembenih tradisional dengan menjalin kemitraan dan membantu pemasaran benih. Dan sebagai dukungan terhadap dunia pendidikan dan penelitian, kang Dedi tidak ragu menyediakan lahannya untuk tempat praktek sekaligus mendirikan dan menyediakan bangunan khusus untuk penginapan para peserta praktek dan secara aktif bekerja sama dengan para peneliti baik menyediakan tempat penelitian maupun menyediakan material untuk penelitian. Kang Dedi juga dari awal secara konsisten berupaya mempopulerkan nama gurame Galunggung untuk mengalamatkan gurame asal Tasikmalaya, alih-alih ikut trend menyebut nama gurame soang yang notabene dipopulerkan lebih dulu oleh masyarakat Ciamis. Dalam beberapa bulan terakhir ini, kami terus berdiskusi untuk merancang suatu pertemuan bagi para pembenih/pembudidaya gurame di daerah Tasikmalaya dan Ciamis. Sayang, rencana tersebut tidak sempat beliau ikuti karena Yang Maha Kuasa telah memanggilnya.
Kini, kang Dedi Dahlan telah pergi. Semangat, konsisten dan komitmennya bagi pengembangan produksi gurame tentu telah memberi warna yang nyata bagi akuakultur. Bagi saya secara pribadi, kang Dedi adalah partner diskusi yang menggairahkan untuk saling berbagi ide pengembangan gurame dan pengalaman praktis budidaya ikan itu sendiri. Selamat jalan, kang Dedi Dahlan. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un.
juragan@GN8