Ketika sistem budidaya sudah mapan dan kultur konsumsi sudah sedemikian terbentuk harus berhadapan dengan keterbatasan suplai stok, maka orang kemudian berpaling mencari sumber sejenis dari tempat lain. Itulah realitas yang terjadi pada ikan sidat. Ketika stok glass eel dari sidat Eropa dan sidat Jepang sudah sangat terbatas padahal permintaan konsumsinya sangat tinggi, para pelaku budidaya sidat mereka kemudian beralih ke Indonesia dimana stok glass eel begitu berlimpah! Setelah ekspor glass eel dilarang (PERMEN KP 18/2009), mereka kemudian berusaha melakukan budidaya di Indonesia. Apakah nikmatnya sidat bisa dirasakan oleh orang Indonesia, terutama para pembudidaya dengan modal pas-pasan?
“The eels come from what we call the entrails of the earth. These are found in places where there is much rotting matter, such as in the sea, where seaweeds accumulate, and in the rivers, at the water’s edge, for there, as the sun’s heat develops, it induces putrefaction” (Aristotle, around 350 BC, Historia Animalium dalam Ginneken & Maes, 2005).
Kepulauan Nusantara yang terletak diantara dua samudera, yang diduga merupakan wilayah pemijahan sidat, memberi keuntungan sebagai tempat beruaya sidat. Glass eel, yang merupakan tahap awal perkembangan sidat, dapat ditemukan di sepanjang pantai: selatan jawa, barat sumatera, sulawesi dan papua. Sejauh ini, telah teridentifikasi 18 spesies sidat air tawar yang bersifat katadromus dan tujuh diantaranya terdapat di bagian barat Pasifik terutama di wilayah sekitar Indonesia, termasuk Anguilla celebesensis yang hanya terdapat di Pulau Sulawesi (Tsukamoto dan Aoyama, 2007). Pada beberapa daerah penangkapan, telah ditemukan adanya keseragaman jenis yang tinggi, misalnya >95% glass eel di pantai barat Sumatera merupakan jenis A. bicolor bicolor (Aoyama, et al., 2007). Keseragaman jenis dan didukung kedekatan morfologi dengan sidat Jepang dapat menjadi faktor pendukung terbukanya peluang usaha budidaya sidat. Di Indonesia, usaha budidaya ini juga didukung oleh adanya sumber daya lahan dan air yang dapat tersedia secara luas.
Meskipun demam budidaya sidat sudah panas, namun secara faktual, upaya pengembangan budidaya sidat di Indonesia relatif masih lemah dan sangat kontradiktif dengan usaha sejenis yang dilakukan di luar negeri. Beragam kendala budidaya, diantaranya: belum tersedianya teknik budidaya yang aplikatif (termasuk didalamnya sistem pemeliharaan yang belum optimal dan pengelolaan lingkungan dan pakan yang belum efisien), peran serta swasta/pengusaha yang masih rendah, belum adanya kerja sama yang berjalan dengan baik antara lembaga pemerintah (penelitian dan pengembangan) dengan stake holder dan kemampuan praktisi yang masih rendah. Demam yang muncul justru kemudian, nampaknya, dimanfaatkan segelintir orang untuk mengadakan training dan menjual benih sidat tangkapan, sedangkan budidayanya lebih lanjut dibiarkan. Di sisi lain, berbagai penelitian sidat sudah berjalan mengkaji identifikasi jenis, distribusi dan aspek fisiologis, pakan hingga sistem budidaya sidat. Namun, nampaknya hasil penelitian tersebut belum dapat diaplikasikan pada skala usaha di masyarakat.
Melihat sistem budidaya sidat di luar negeri, produksinya sudah berkembang dengan mapan pada jenis sidat Eropa (A. anguilla) yang banyak berkembang di Belanda, Jerman, Denmark dan Italia (FAO, 2007a), sidat Jepang (A. japonica) yang banyak berkembang di Jepang, Cina, Taiwan, Korea dan Malaysia (FAO, 2007b) dan sidat Australia (A. australis dan A. reinhardtii) yang banyak berkembang di negara bagian Victoria, Tasmania, New South Wales dan Queensland, Australia (McKinnon, 2006). Pada tahun 2005, tidak kurang dari 8.000 ton sidat Eropa (FAO, 2007a) dan 230.000 ton sidat Jepang (FAO, 2007b) telah dihasilkan dari budidaya. Tingginya produksi sidat tersebut, juga telah mendorong terjadinya pembatasan suplai glass eel bagi budidaya akibat adanya penurunan sidat di alam. Penurunan populasi hingga 99% telah dilaporkan pada sidat Eropa dan sidat Jepang masing-masing dibandingkan dengan kondisi tahun 1980-an dan 1970-an, seperti juga yang terjadi pada sidat Amerika (Dekker, 2003) yang mengakibatkan sidat Eropa sudah masuk Appendex II CITES sejak Tahun 2007 (http://www.cites.org/eng/app/appendices.php). Selain akibat over-fishing, populasi sidat juga dapat menurun akibat adanya kerusakan habitat, penghalang selama migrasi, polusi, penyakit dan faktor perubahan iklim dan laut (McKinnon, 2006). Kerusakan lingkungan dan penghalang migrasi tersebut juga dapat mengancam populasi sidat alami Indonesia, selain adanya illegal recruitment yang mungkin dilakukan oleh pengusaha.
Dengan berbagai kondisi tersebut, pengembangan sidat di Indonesia perlu segera dilakukan, terutama untuk memanfaatkan sumber daya alam Indonesia bagi keperluan masyarakat. Beberapa strategi yang dapat dilakukan, diantaranya:
- Harus ada kerja sama yang nyata dan berjalan dengan baik antara lembaga pemerintah dengan swasta dalam upaya penelitian dan pengembangan teknik budidaya sidat hingga kemudian teknik tersebut dapat diaplikasikan secara sederhana, murah dan berkesinambungan pada skala rumah tangga (tidak hanya dinikmati oleh para pemodal besar seperti pada kasus tambak udang),
- Identifikasi distribusi glass eel dan penentuan lokasi pengembangan usaha tingkat masyarakat yang berdekatan dengan sumber daya tersebut yang akan bermanfaat baik bagi upaya konservasi di satu wilayah dan eksploitasi di wilayah lainnya,
- Perlu segmentasi usaha yang jelas antara pembenihan (proses produksi glass eel sampai fingerling) dan pembesaran (proses produksi fingerling sampai konsumsi),
- Memastikan keterlibatan para pelaku budidaya Indonesia pada penanaman modal budidaya sidat dari luar negeri sehingga diharapkan ada transformasi dan adopsi teknik budidaya yang dapat diterapkan di masyarakat (seperti kasus budidaya kerang mutiara yang kemudian tidak hanya eksklusif orang luar negeri)
- Peningkatan riset yang komprehensif untuk melakukan breeding sidat sehingga, ke depan, glass eel bukan ditangkap dari alam melainkan dari budidaya agar budidaya bisa kontinyu dan, dalam jangka panjang, menghindari masuknya sidat Indonesia pada list CITES.
Berikut adalah beberapa komentar pada wall APLESI
Pananjung Farm
hehehehehehehe
kang Ade bisa2 saja
rame karena cara promosi grup sidat yang provokatif
jauh dari basis utama Aplesi, berbagi dengan ikhlas, santun, tawadhu
Yesterday at 2:47am · Like · 1
I-Man Sant
se7 banget pa bambang. artikel di atas bagus juga. tapi sayangnya para sidater muda yg mengklaim sebagai pakar hanya disibukan dengan pencitraan. sekedar ingin dapat julukan ”WOW”
Yesterday at 3:53am via mobile · Like · 2
Pananjung Farm
Gan Juragan Indoor
Sebenernya apa yang terjadi di per SIDAT an kita ya
Kok kurang nyaman di situ nya
PF termasuk yang baru baca2, namya2 kanan-kiri, bahkan ikut kursus singkat nya pa Yopiting Soetiono-pa Ariya Hendrawan dkk
Yesterday at 7:31am · Like
Ariya Hendrawan
Dear pak Bambang, kemarin itu saya hanya mau bantu agar pemain lele bisa diversifikasi produk, karena berat kodisi jikalau main 1 produk, bukan promosi/ jualan. Seperti 2 tahun lalu pak Bambang kami terima dengan baik di group sidat kami, kita bekali dengan ilmu. Tujuan kami masih sampai sekarang ini (sudah 5 tahun) membekali pembudidaya dengan ilmu yg cukup untuk budidaya. Juga waktu rekan kita bantu advise saat lele pak Bambang kena whitespot semua yg kami lakukan tulus. Semua posting sy valid berbasis journal, riset dan praktek bukan artikel, angka 2 juga. Malu sy dihadapan sidaters se Indonesia kalau kasih angka dan data salah.
Yesterday at 8:48am · Edited · Like · 2
Juragan Indoor
Teknik budidaya sidat, saya yakin akan/sudah didapatkan! Mungkin tinggal perbaikan2 utk meningkatkan efisiensi!
Masalahnya, nampaknya pemasaran! Kita punya pengalaman! Lele dumbo sekalipun di awal akhir dekade 80an sempat kesulitan pemasaran, baru establish di akhir dekade 90an, setelah eranya pecel lele! Patinpun demikian, dulu sampai ada yg sempat bilang sebagai ikan setan, sekarang masih terdengar adanya stuck pemasaran! Intinya, kecepatan raihan teknologi budidaya diatas pembentukan pasar!
Sidat: betul harga konsumsinya tinggi baik didalam maupun luar negeri dan, katakanlah, dari sisi biaya produksi sudah sangat menguntungkan! Tapi dimana pasar realnya? Berapa banyak serapan supermarket besar karena tidak/sedikit yg masuk pasar tradisional? Berapa banyak pasar ekspor? Bandingkan dg produksinya! Dugaan saya, produksi terlalu besar utk pasar dalam negeri tapi terlalu kecil utk eksport! Belum lagi bicara kontinyuitas utk eksport! Buktinya, hasil produksi “terpaksa” menumpuk di freezer atau benih hasil tangkapan yg “terlanjur” dipesan harus ‘dijual’ lewat latihan! Bandingkan dg lele, kita bisa jual kapanpun dan berapapun. 50, 100, 1000kg masih ada yg menampung! Kalo memang pasar realnya ada, tidak perlu memfreezerkan sidat, jual aja ke supermarket yg hitungan 5 milyar itu!
Masalah kedua adalah segmentasi. Kalo saya produksi fingerling, siapa yg pasok glass eel ketika saya perlu, siapa yg mau beli fingerlingnya! Kalo produksi konsumsi, siapa yg pasok fingerlingnya sesuai kebutuhan, kemana menjual produksinya! Bandingkan dg udang vanname. Mau maen hatchery: induk ada jual, benih ada yg minta ke tambak2! Mau maen tambak, suplai benih aman karena banyak hatchery, jual konsumsi aman karena pasar realnya ada!
Saya setuju kita harus mendorong budidaya sidat sampai level pemodal pas2an skala rumah tangga! Kantor saya sudah mempromosikan sejak Tahun 2000an! Saya pribadi, sudah ikut promosi sampai menghubungkan dg cold storage bahkan pengolahan utk mengekspor dlm bentuk siap saji! Tapi mungkin upaya itu belum ada hasil! Makanya, kawan2 yg masih main sidat juga ramai mengkampanyekan hal itu!
Yg saya tidak harapkan adalah jangan sampai para pemain sidat mencari korban baru sebagai tumbal atas kegagalan yg sudah mereka rasakan! Seperti kasus ramainya orang budidya lobster! Hanya ramai karena pelatihan yg nampak seperti MLM!
Akhirnya, kalo terkait lele, ada baiknya para pembudiaya lele diversifikasi usaha mencoba sidat 1-2 bak cukup 1-2 kg utk belajar! Tapi jangan sampai ada kesan, pemain sidat justru diversifikasi ke lele karena berat pasar di sidat!
Note utk pak @ariya, beberapa angka di blog sidat perlu diperbaiki, seperti yg sudah saya sarankan sebelumnya! Kasihan kalo 780 sidater salah persepsi!
Utk agan2 admin, mohon maaf, posting saya diluar lele, hanya utk mendorong adanya kebijakan-pelaksanaan yg komprehensif, mudah2an melalui APLESI ada yg baca! Komentarnya tidak perlu didiskusikan panjang! Kalo ada yg mau diskusi silahkan inbox ke saya!
Yesterday at 9:10am via · Like · 3 ·
Ariya Hendrawan
Angka2 diblog mengenai harga sidat di Jepang berdasar angka2 di Tsukidji Market Jepang, Swalayan2 Jepang, juga Custom (pabean) di Tokyo. Ukuran2 sidat consumable dari “Eel Culture” Atsushi Utsui, semua valid dari Journal dan Handbook gan Juragan Indoor.
Yesterday at 9:16am · Like
Adi Sadewa
mas ariya kalau di daerah jawa timur pasarnya dmn mas…
Yesterday at 9:25am · Like
Ariya Hendrawan
Ada sidaters pak Andre Budiono pembina plasma di 6 kabupaten, silahkan dikontak.
Yesterday at 10:53am · Edited · Like
Juragan Indoor
Kesalahan angkanya tidak fatal tapi khawatir salah memahami atau saya salah baca!
Daripada ntar diblok sama admin APLESI, ntar saya inbox saja ke pak @ariya
Yesterday at 9:32am via mobile · Like
Adi Sadewa
he…he aku jd kepengin ….
Yesterday at 9:36am · Like
Ariya Hendrawan
bisa inbox atau ke ariya.hendrawan@gmail.com, terima kasih untuk koreksi PH nya yg seharusnya tertulis pH, untuk ge memang Utsui sebut elver begitu, ge mengalami pigmentasi.
Yesterday at 9:44am · Edited · Like
Hendro Si Seniman Sidat
Maaf mas ade,menyunting kalimatnya sampeyan.
>Demam yang muncul justru kemudian, nampaknya, dimanfaatkan segelintir orang untuk mengadakan training dan menjual benih sidat tangkapan, sedangkan budidayanya lebih lanjut dibiarkan.
Itu memang kenyataan mas,banyak pembudidaya pemula/mantan peserta pelatihan yg ngeluh dan merasa tertipu.
Pernah jg sy ngobrol sm makelar sidat+penyelenggara pelatihan yg jelas2 sy tau dan dia mengakui tdk paham mslh budidaya+blm pernah.
Alasannya cuma bisnis dan uang…Karna bisa jual bibit+jual jasa.
dia bilang jg, Pembesaran nunggu 12bln mereka jg gak bakalan sabar menunggu..
Mungkin sekitar 1thn kemarin sy sempat gembar gembor buat para calon/pembudidaya pemula/pengikut pelatihan, hati2 jangan menggapangkan dan dianggap gampang peliara sidat.
2-3bulan kemudian baru pada ngeluh dan merasa tertipu,ada yg kapok,ada yg dikasih tetangga,ada yg cuma dibiarkan tak terurus,ada mati habis,ada yg dijual,ada yg masih bertahan dan ikutan jadi makelar dan pakar dadakan.
Yesterday at 1:41pm via mobile · Unlike · 2
Eddy Santoso
???????oº°??°?:O gitu yaaa…
Ikut sedih kalau demikian adanya…
Yesterday at 1:44pm via mobile · Like
Hendro Si Seniman Sidat
Ini kenyataan yg benar2 sy terima dari yg merasa jd korban pelatihan/penyelenggara/peserta pelatihan yg akhirnya jd makelar sidat yg naik pangkat jd penyelenggara pelatihan,dengan cara ganti2 isi kolam+aquarium untuk sekedar mencari kepercayaan dr calon2 pembudidaya supaya pada ikut budidaya sidat dan beli pakan+benih dr mereka.
Sy kasian aja mereka2..
Banyak cara yg sudah sy pake tidak berhasil dan sudah bisa ditebak nantinya akan seperti apa.
Malah diterapkan ke calon2 korban.
Yesterday at 1:55pm via mobile · Unlike · 2
Terima kasih atas komentar agan semua! Mudah-mudahan menjadi pencerahan dan bermanfaat bagi kita semua!
Bila agan keberatan komentarnya dimuat di blog ini, silahkan untuk email ke Juragan Indoor untuk diperbaiki.
Sekali lagi terima kasih