‘Kita bukan hanya melangkah, tapi harus melakukan lompatan: menjadi penghasil produk kelautan dan kelautan terbesar pada Tahun 2015. Bila China telah mampu melakukan, maka dengan segala kelebihan yang dimiliki, Indonesia juga pasti bisa mencapainya. Untuk mensejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan’.
Itulah optimisme yang dibangun Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia kepada jajarannya. Mimpi yang harus dicapai dalam rentang waktu lima tahun ke depan. Dan mimpi itu, harus dibangunkan dari perikanan budidaya.
Bila ditelusur lebih lanjut, produk perikanan budidaya terbesar tersebut hanya pada komoditas rumput laut, lele, bandeng dan kerapu. Lonjakan target produksi yang dipasang pada komoditas lain, nampaknya belum mampu untuk masuk pada terbesar. Dari sisi teknik budidaya yang sejauh ini telah dikuasai, sebelas (dengan ikan lainnya pada urutan ke dua belas) komoditas, peningkatan produksi bukan mustahil untuk diwujudkan, apalagi dengan ditunjang sinergi yang baik (sejauh pada tingkat perencanaan) dengan bidang lainnya.
Dengan sinergi yang dibangun, diharapkan kendala yang biasa timbul secara klasik tidak lagi mengemuka, misalnya modal dan pasar. Secara wajar, kemandirian produksi bukan lagi harus bergantung pada bantuan pemerintah namun harus lebih diarahkan pada keterlibatan pihak bank. Mengingat azas kemerataan dan mungkin keterbatasan anggaran, bantuan pembiayaan dari pemerintah biasanya lebih mementingkan jumlah yang dibantu dibandingkan dengan nilai bantuan yang diperlukan, sehingga lebih diarahkan pada usaha skala rumah tangga. Tinggal bagaimana menumbuhkan kepercayaan pihak perbankan terhadap usaha perikanan dan mengawal usaha perikanan itu sendiri ke arah yang lebih bankable.
Pasar; bukan hanya kemana harus menjual tapi yang lebih penting adalah berapa margin keuntungan yang bisa diperoleh, jangan sampai pembudidaya yang berkutat dengan produksi selama periode tertentu hanya memperoleh keuntungan yang lebih kecil dibandingkan broker (tengkulak) yang hanya memerlukan waktu jauh lebih pendek. Adalah wajar bahwa pembudidaya tidak berhubungan langsung dengan konsumen namun perlu ada kesadaran (atau ‘dipaksa’ sadar, mungkin oleh pemerintah karena sejauh ini harga produk perikanan belum termasuk yang diatur, dibandingkan padi misalnya) dari para tengkulak untuk berbagi keuntungan secara wajar, baik ketika suplai terbatas ataupun berlebih dibandingkan dengan permintaan. Tentu saja, bila saja target peningkatan produksi yang melompat tersebut tercapai, akan berdampak pada keseimbangan suplai-permintaan. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi ikan adalah salah satu jalan dan menerobos pasar ekspor adalah jalan lainnya.
Konsumsi ikan di masyarakat mungkin dapat meningkat sejauh harganya terjangkau. Kita bisa belajar dari perluasan daerah budidaya dan peningkatan produksi lele satu dekade ini yang memang produknya terserap habis karena harganya relatif murah dibandingkan misalnya dengan perkembangan budidaya gurame yang memiliki nilai jual lebih tinggi sehingga produksinya nyaris stagnan. Tantangannya, tentu saja, adalah bagaimana menciptakan produk dengan nilai jual yang murah. Bila diyakini 60-70% biaya produksi adalah pakan, maka menciptakan harga pakan yang murah adalah solusinya. Terobosan substitusi tepung ikan, komponen utama pakan ikan, dengan sumber tepung hewani lainnya, misalnya maggot, boleh jadi merupakan salah satu jawabannya. Cara lain adalah dengan memacu peningkatan produksi ikan-ikan yang secara alami merupakan kelompok herbivora, yang lebih banyak memanfaatkan daun-daunan dibandingkan dengan pakan buatan. Adalah sangat realistis untuk menurunkan harga jual gurame sehingga dapat dibeli masyarakat bila diproduksi dengan menyediakan daun-daunan yang mencukupi alih-alih diberi pakan buatan. Suatu komparasi yang sangat dekat adalah dengan produksi ikan Koan/Grass Carp, salah satu ikan herbivora, yang dilakukan oleh China.
Pasar ekspor adalah harapan yang menjanjikan. Bahkan dengan margin keuntungan yang tipis tapi dengan jumlah yang banyak tentu akan tetap memberikan nilai akumulatif yang besar. Sejauh produk yang kita miliki masih kompetitif, peluang ekspor masih tetap bisa diisi. Jalan lain yang bisa ditempuh adalah menciptakan peluang pasar dari produk yang kita punya. Sejatinya orang Amerika lebih kenal channel catfish namun ternyata Vietnam mampu mendobrak pasar Amerika dengan Pangasius. Mungkinkah kita juga bisa menciptakan gaung lele (pasar catfish) atau gurame (pasar cichlid)?
Tentu, kita harus mampu memproduksi ikan yang sesuai dengan permintaan pasar ekspor, misalnya ukuran konsumsi. Sementara pasar lokal kebanyakan hanya menghendaki ukuran kecil untuk konsumsi (misalnya lele hanya ukuran 7-8 ekor/kg atau nila 2-3 ekor/kg), pasar ekspor biasanya menginginkan ukuran besar (diatas 7 ons/ekor). Tentu saja, kondisi ini akan memaksa para pembudidaya memperpanjang masa produksi untuk mencapai ukuran ekspor. Apakah perpanjangan ini bisa memberikan peningkatan margin keuntungan? Lagi-lagi, kita semestinya bergerak mencari teknologi yang dapat mempersingkat masa produksi tersebut; sebutlah dengan membuat populasi ikan kelamin tunggal (nila sudah berhasil, dan harus segera dikerjakan pada lele) atau melalui perbaikan genetik agar ikan memiliki pertumbuhan lebih cepat.
Pada akhirnya, kesepahaman antara pemerintah, pengusaha dan pembudidaya perlu diperkuat. Karena kita yakin kita bisa menjadi yang terbesar.
juragan@n9300i
Setuju Pak.
Dari Polaris siap mendukung.
Salam,
Mike..